1 Pengertian Tuna Rungu dan Wicara
Menurut
Pernamari Somad dan Tati Herawati (1996, hal. 27) menyatakan bahwa “Tunarungu
adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar
baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya
sebagaian atau seluruh alat pendenganran, sehingga ia tidak dapat menggunakan
alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak terhadap
kehidupan secara kompleks”.
Sedangkan
menurut Sardjono (1997, hal. 7) mengatakan bahwa: “Anak tunarungu adalah anak
yang kehilangan pendengaran sebelum belajar bicara atau kehilangan pendengaran
demikian anak sudah mulai belajar bicara karena suatu gangguan pendengaran,
suara dan bahasa seolah-olah hilang”.
Sedangkan
sebagian tunawicara adalah mereka yang menderita tuna rungu sejak bayi/lahir,
yang karenanya tidak dapat menangkap pembicaraan orang lain, sehingga tak mampu
mengembangkan kemampuan bicaranya meskipun tak mengalami ganguan pada alat
suaranya.
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa anak penyandang tunarungu dan tunawicara adalah anak
yang kehilangan kemampuan untuk mendengar baik sebagian maupun seluruhnya yang
mengakibatkan tidak mampu untuk menggunakan alat pendengarannya dalam
kehidupannya sehari-hari dan juga tidak mampu mengembangkan kemampuan
bicaranya.
Tuna
wicara merupakan gangguan verbal pada seseorang sehingga mengalami kesulitan
dalam berkomunikasi melalui suara. Tuna wicara sering dikaitkan dengan tuna
rungu. Van Uden (1971) menyatakan bahwa penyandang tuna rungu bukan saja
tuna rungu tetapi juga tuna bahasa. Sedangkan Leigh (1994)
mengemukakan bahwa terhadap anak tuna rungu, orang akan langsung berpikir tentang
ketidakmampuan mereka dalam berkomunikasi secara lisan (berbicara), padahal
masalah utamanya bukan pada ketidakmampuan dalam berbicara melainkan pada
akibat dari keadaan ketunarunguan tersebut terhadap perkembangan bahasa.
Pendapat Van Uden yang menyatakan bahwa penyandang tuna rungu juga pasti
tuna bahasa, berlawanan dengan pendapat Morag Clark, seorang
International Consultant in Natural Auditory Oral Education for children who
are hearing impaired. Clark (2007) menyatakan bahwa apabila anak-anak dengan
gangguan pendengaran diberi alat bantu dengar yang tepat sehingga dapat baik
maka kualitas bicara mereka sangat mengagumkan.
Andreas
Dwijosumarto dalam seminar ketuna runguan di bandung (19 juni 1988)
mengemukakan bahwa tuna rungu adalah suatu kehilangan pendengaran yang
mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai perangsang, terutama
indra pendengaran.
Menurut
batasan dari Sri Moerdiani (1987: 27) dalam buku psikologi anak luar biasa
bahwa anak tuna rungu adalah mereka yang menaglami gangguan pendengaran
sedemikian rupa sehingga tidak mempunyai fungsi praktis dan tujuan komunikasi
dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya.
1Sejarah Perkembangan Pendidikan
Tuna Rungu dan Wicara
Perkembangan Pendidikan Tuna Rungu dan Wicara Dunia
Salah
satu literatur tertua mengenai tunarungu dan tunawicara tercatat pada abad
kelima SM, dalam Plato Cratylus, di mana Socrates berkata: "Jika kami
tidak memiliki suara atau lidah, dan ingin mengungkapkan hal-hal yang satu sama
lain, tidak akan kami mencoba untuk membuat tanda-tanda dengan menggerakkan
tangan, kepala, dan seluruh tubuh kita, seperti orang bodoh lakukan saat ini ?”
Disini tampak bahwa orang yang disebut Socrates sebagai orang bodoh adalah
sekelompok orang yang tidak bersuara dan tidak berlidah. Terdapat juga
literatur pada abad ke-2 Yudea, rekaman dalam traktat Mishnah Gittin menyatakan
bahwa untuk tujuan transaksi komersial "Seorang tuli-bisu dapat mengadakan
percakapan melalui suatu gerakan tertentu.”
Di
masa yang lebih modern, yaitu pada tahun 1620, Juan Pablo Bonet menerbitkan
“Reducción de las letras y arte para enseñar a hablar mudos los” (Pengurangan
huruf dan seni untuk mengajar orang bisu untuk berbicara') di Madrid. Sejumlah
esai modern pertama Fonetik dan Logopedia, kemudian menetapkan metode
pendidikan oral bagi penyandang tunarungu dengan cara penggunaan tanda-tanda
manual, dalam bentuk alfabet manual untuk memperbaiki komunikasi dari
penyandang tunarungu dan tunawicara.
Profil Juan Pablo Bonet

Ukiran oleh Diego de Astor dari Reducción de las letras y arte para enseñar a hablar a los mudos
![]() |
Add caption |
Terinpirasi
dari bahasa tanda-tanda Bonet ini, Charles-Michel de l'Épée kemudian
menerbitkan alfabet manualnya di abad ke-18, yang sampai kini terus bertahan di
Perancis dan Amerika Utara. Ini merupakanmasa-masa awal berkembangnya
pendidikan khusus penyandang tunarungu dan
tunawicara.
Charles-Michel de l'Épée

Louis Marie Laurent Clerc dengan Thomas
Hopkins Gallaudet , ia mendirikan sekolah pertama
untuk tuna rungu di Amerika Utara,
Universitas ini dinamakan dari Thomas
Hopkins Gallaudet yang merupakan seorang tokoh terkenal dalam mengembangkan pendidikan bagi
orang tunarungu.
Dalampengajarannya, Unversitas Gallaudet menggunakan BahasaIsyaratAmerika
(American Sign Language) dan bahasaInggris.
Sejarah Perkembangan Pendidikan Tuna Rungu dan Wicara di Indonesia
Lembaga Pendidikan Tuli Bisu pertama kali di Indonesia didirikan pada tanggal 3 Januari 1930 di kota Bandung. Pendirian lembaga ini berasal dari inisiatif seorang wanita, yaitu Nyonya C.M. Roelfsema Wesselink, istri dari dokter THT yaitu H.L. Roelfsema. Jauh sebelum lembaga pendidikan tuli bisu didirikan, nyonya Roelfsema selalu mengajar pasien-pasien suaminya yang mengalami masalah pendengaran dan gangguan bicara. Akhirnya, bersama dengan ke enam belas teman-temannya, nyonya dan tuan Roelfsema berhasil mendirikan lembaga pendidikan anak tuli di tempat kediamannya di Bandung dan sebagai penghargaan kepada para pendiri, nama-nama mereka dipahat di batu pualam bertinta emas.
Lembaga
pendidikan anak-anak tuli di Tjitjendo Bandung ini menjadi cikal bakal dari
berdirinya sekolah kaum tuna rungu di Indonesia. Banyak daerah lain juga
terpanggil mendirikan sekolah seperti ini. Wonosobo, Jakarta, Yogya, Solo,
Medan, dan lain – lain juga mendirikan
sekolah untuk kaum tuna rungu sehingga anak-anak tuli yang tidak mengerti dan
tidak bisa bicara, dapat memiliki ketrampilan dan bisa hidup mandiri.
Lima tahun kemudian, di Wonosobo didirikan
lembaga pendidikan oleh Misi Katolik yang hanya menerima siswi–siswi tuna rungu
yang terkenal pula dengan metode oralnya. Lalu pada tahun 1953 didirikan
sekolah lain di kota yang sama oleh Misi Bruder Charitas yang khusus mendidik
siswa putra. Dimulai tahun 1970-an mulai berkembang berbagai versi perangkat
isyarat dalam menerapkan komunikasi pada penyandang tunarungu di Indonesia.
Baru tahun 1993 , Balitbang Dikbud, Dekdikbut mulai menyusun kamus baku bahasa
isyarat. Dan pada tahun yang sama Direktorat Pendidikan Dasar, Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah, Depdikbud mengambil keputusan
membakukan suatu Sistem Isyarat Nasional, yang kemudian lebih dikenal dengan
istilah Sistem Isyarat Bahasa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar