Rabu, 02 Juli 2014

Sejarah Pendidikan Tuna Rungu



1 Pengertian Tuna Rungu dan Wicara
                        Menurut Pernamari Somad dan Tati Herawati (1996, hal. 27) menyatakan bahwa “Tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagaian atau seluruh alat pendenganran, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak terhadap kehidupan secara kompleks”.
                        Sedangkan menurut Sardjono (1997, hal. 7) mengatakan bahwa: “Anak tunarungu adalah anak yang kehilangan pendengaran sebelum belajar bicara atau kehilangan pendengaran demikian anak sudah mulai belajar bicara karena suatu gangguan pendengaran, suara dan bahasa seolah-olah hilang”.
                        Sedangkan sebagian tunawicara adalah mereka yang menderita tuna rungu sejak bayi/lahir, yang karenanya tidak dapat menangkap pembicaraan orang lain, sehingga tak mampu mengembangkan kemampuan bicaranya meskipun tak mengalami ganguan pada alat suaranya.
                        Jadi, dapat disimpulkan bahwa anak penyandang tunarungu dan tunawicara adalah anak yang kehilangan kemampuan untuk mendengar baik sebagian maupun seluruhnya yang mengakibatkan tidak mampu untuk menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupannya sehari-hari dan juga tidak mampu mengembangkan kemampuan bicaranya.

                        Tuna wicara merupakan gangguan verbal pada seseorang sehingga mengalami kesulitan dalam berkomunikasi melalui suara. Tuna wicara sering dikaitkan dengan tuna rungu. Van Uden (1971) menyatakan bahwa penyandang tuna rungu bukan saja tuna rungu tetapi juga tuna bahasa. Sedangkan Leigh (1994)  mengemukakan bahwa terhadap anak tuna rungu, orang akan langsung berpikir tentang ketidakmampuan mereka dalam berkomunikasi secara lisan (berbicara), padahal masalah utamanya bukan pada ketidakmampuan dalam berbicara melainkan pada akibat dari keadaan ketunarunguan tersebut terhadap perkembangan bahasa. Pendapat Van Uden yang menyatakan bahwa penyandang tuna rungu juga pasti tuna bahasa, berlawanan dengan pendapat Morag Clark, seorang International Consultant in Natural Auditory Oral Education for children who are hearing impaired. Clark (2007) menyatakan bahwa apabila anak-anak dengan gangguan pendengaran diberi alat bantu dengar yang tepat sehingga dapat baik maka kualitas bicara mereka sangat mengagumkan.
                        Andreas Dwijosumarto dalam seminar ketuna runguan di bandung (19 juni 1988) mengemukakan bahwa tuna rungu adalah suatu kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai perangsang, terutama indra pendengaran.
                        Menurut batasan dari Sri Moerdiani (1987: 27) dalam buku psikologi anak luar biasa bahwa anak tuna rungu adalah mereka yang menaglami gangguan pendengaran sedemikian rupa sehingga tidak mempunyai fungsi praktis dan tujuan komunikasi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya.


1Sejarah Perkembangan Pendidikan Tuna Rungu dan Wicara

Perkembangan Pendidikan Tuna Rungu dan Wicara Dunia
                        Salah satu literatur tertua mengenai tunarungu dan tunawicara tercatat pada abad kelima SM, dalam Plato Cratylus, di mana Socrates berkata: "Jika kami tidak memiliki suara atau lidah, dan ingin mengungkapkan hal-hal yang satu sama lain, tidak akan kami mencoba untuk membuat tanda-tanda dengan menggerakkan tangan, kepala, dan seluruh tubuh kita, seperti orang bodoh lakukan saat ini ?” Disini tampak bahwa orang yang disebut Socrates sebagai orang bodoh adalah sekelompok orang yang tidak bersuara dan tidak berlidah. Terdapat juga literatur pada abad ke-2 Yudea, rekaman dalam traktat Mishnah Gittin menyatakan bahwa untuk tujuan transaksi komersial "Seorang tuli-bisu dapat mengadakan percakapan melalui suatu gerakan tertentu.”
                        Di masa yang lebih modern, yaitu pada tahun 1620, Juan Pablo Bonet menerbitkan “Reducción de las letras y arte para enseñar a hablar mudos los” (Pengurangan huruf dan seni untuk mengajar orang bisu untuk berbicara') di Madrid. Sejumlah esai modern pertama Fonetik dan Logopedia, kemudian menetapkan metode pendidikan oral bagi penyandang tunarungu dengan cara penggunaan tanda-tanda manual, dalam bentuk alfabet manual untuk memperbaiki komunikasi dari penyandang tunarungu dan tunawicara.

 Profil Juan Pablo Bonet

Juan Pablo Bonet (1573-1633) adalah seorang Spanyol imam dan pelopor pendidikan bagi kaum tuna rungu.Ia menerbitkan buku pertama tentang pendidikan tuli pada tahun 1620 di Madrid. SistemBonettentangtanda-tandadanalfabet manual telahmempengaruhibanyakbahasaisyarat, sepertiSpanyol Sign Language, PrancisBahasaIsyarat, dan American Sign Language.



Ukiran oleh Diego de Astor dari Reducción de las letras y arte para enseñar a hablar a los mudos
Add caption
(Bonet, 1620):

        Terinpirasi dari bahasa tanda-tanda Bonet ini, Charles-Michel de l'Épée kemudian  menerbitkan alfabet manualnya di abad ke-18, yang sampai kini terus bertahan di Perancis dan Amerika Utara. Ini merupakanmasa-masa awal berkembangnya pendidikan khusus penyandang tunarungu dan tunawicara.     
         
Charles-Michel de l'Épée

Abbé Charles-Michel de L'Epee (November 24, 1712, Versailles - 23 Desember 1789, Paris ) adalah filantropis pendidik dari abad ke-18 Perancis yang telah menjadi dikenal sebagai "Bapak Deaf ". Pada 1755, Abbé de l'Épée mendirikan sekolah pertama untuk anak-anak penyandang tunarungu dan tunawicara di Paris. Salah satu lulusannya yang juga berperan dalam pengembangan pendidikan ini Laurent Clerc. Clerc melakukan migrasi ke Amerika Serikat bersama Thomas Hopkins Gallaudet untuk mendirikan Sekolah Amerika untuk Tuli di Hartford, Connecticut, pada tahun 1817. Perjuangan ini diteruskan oleh Edward Miner Gallaudet (putra T.H Gallaudet) yang mendirikan sekolah untuk penyandang tunarungu pada tahun 1857 di Washington, DC. Pada tahun 1864 sekolah ini menjadi National Deaf-Mute College. Universitas ini kemudian disebut Gallaudet University, dan masih merupakan universitas seni liberal hanya untuk orang-orang tunarungu dan tunawicara di dunia. 
                                 


 

Louis Marie Laurent Clerc dengan Thomas Hopkins Gallaudet , ia mendirikan sekolah pertama untuk tuna rungu di Amerika Utara,


           
Gallaudet University atau Universitas Gallaudetadalahsebuah universitas yang terletak di Washington D.C, AmerikaSerikat. Universitas Gallaudet adalahsatu-satunya univeritas di dunia yang didirikan bagi mahasiswa tunarungu atau orang-orang yang mempunyai kesulitan pendengaran.
Universitas ini dinamakan dari Thomas Hopkins Gallaudet yang merupakan seorang tokoh terkenal dalam mengembangkan pendidikan bagi orang tunarungu.
Dalampengajarannya, Unversitas Gallaudet menggunakan BahasaIsyaratAmerika (American Sign Language) dan bahasaInggris.



Sejarah Perkembangan Pendidikan Tuna Rungu dan Wicara di Indonesia

                        Lembaga Pendidikan Tuli Bisu pertama kali di Indonesia didirikan pada tanggal 3 Januari 1930 di kota Bandung. Pendirian lembaga ini berasal dari inisiatif seorang wanita, yaitu Nyonya C.M. Roelfsema Wesselink, istri dari dokter THT yaitu H.L. Roelfsema. Jauh sebelum lembaga pendidikan tuli bisu didirikan, nyonya Roelfsema selalu mengajar pasien-pasien suaminya yang mengalami masalah pendengaran dan gangguan bicara. Akhirnya, bersama dengan ke enam belas teman-temannya, nyonya dan tuan Roelfsema berhasil mendirikan lembaga pendidikan anak tuli di tempat kediamannya di Bandung dan sebagai penghargaan kepada para pendiri, nama-nama mereka dipahat di batu pualam bertinta emas.
                        Lembaga pendidikan anak-anak tuli di Tjitjendo Bandung ini menjadi cikal bakal dari berdirinya sekolah kaum tuna rungu di Indonesia. Banyak daerah lain juga terpanggil mendirikan sekolah seperti ini. Wonosobo, Jakarta, Yogya, Solo, Medan, dan lain – lain  juga mendirikan sekolah untuk kaum tuna rungu sehingga anak-anak tuli yang tidak mengerti dan tidak bisa bicara, dapat memiliki ketrampilan dan bisa hidup mandiri.
                        Lima  tahun kemudian,  di Wonosobo didirikan lembaga pendidikan oleh Misi Katolik yang hanya menerima siswi–siswi tuna rungu yang terkenal pula dengan metode oralnya. Lalu pada tahun 1953 didirikan sekolah lain di kota yang sama oleh Misi Bruder Charitas yang khusus mendidik siswa putra. Dimulai tahun 1970-an mulai berkembang berbagai versi perangkat isyarat dalam menerapkan komunikasi pada penyandang tunarungu di Indonesia. Baru tahun 1993 , Balitbang Dikbud, Dekdikbut mulai menyusun kamus baku bahasa isyarat. Dan pada tahun yang sama Direktorat Pendidikan Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah, Depdikbud mengambil keputusan membakukan suatu Sistem Isyarat Nasional, yang kemudian lebih dikenal dengan istilah Sistem Isyarat Bahasa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar